KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA (K3)


Sejarah Keselamatan dan Kesehatan Kerja

          Sejak zaman purba pada awal kehidupan manusia, manusia bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Pada saat bekerja tidak jarang akan ditemui berbagai macam kecelakaan dalam bentuk cidera atau luka. Dengan akal pikirannya manusia berusaha mencegah terulangnya kecelakaan serupa sehingga ia dapat mencegah kecelakaan secara preventif. Selama pekerjaan masih dikerjakan secara perorangan atau dalam kelompok maka usaha pencegahan tidaklah terlalu sulit, sifat demikian segera berubah, tatkala revolusi industri dimulai, yakni sewaktu umat manusia dapat memanfaatkan hukum alam dan dipelajari sehingga menjadi ilmu pengetahuan dan dapat diterapkan secara praktis. Penerapan ilmu pengetahuan tersebut dimulai pada abad 18 dengan munculnya industri tenun, penemuan ketel uap untuk keperluan industri. Tenaga uap sangat bermanfaat bagi dunia industri, namun pemanfaatannya juga banyak mengandung resiko terhadap peledakan karena adanya tekanan uap yang sangat tinggi. Selanjutnya menyusul revolusi di bidang kelistrikan, revolusi tenaga atom dan penemuan-penemuan baru di bidang teknik dan teknologi yang sangat bermanfaat bagi umat manusia. Disamping manfaat tersebut, pemanfaatan teknik dan teknologi dapat merugikan dalam bentuk resiko terhadap kecelakaan apabila tidak diikuti dengan pemikiran tentang upaya keselamatan dan kesehatannya. Sebagai gambaran tentang sejarah perkembangan keselamatan dan kesehatan kerja dapat dijelaskan sebagai berikut : Sekitar tahun 1700 SM, raja Hammurabi dari kerajaan Babilonia dalam kitab undang-undang menyatakan bahwa : ”Bila seorang ahli bangunan membuat rumah untuk seseorang dan pembuatannnya tidak dilaksanakan dengan baik sehingga rumah itu roboh dan menimpa pemilik rumah hingga mati, maka ahli bangunan tersebut harus dibunuh”
         Pada zaman Mozzai ± 5 abad setelah Hammurabi, dikatakan bahwa seorang ahli bangunan bertanggung jawab atas keselamatan para pelaksana dan pekerjanya, dengan menetapkan pemasangan pagar pengaman pada setiap sisi luar atap rumah. Sekitar tahun 80-an, Plinius seorang ahli encyclopedia bangsa Roma mensyaratkan agar para pekerja tambang diharuskan memakai tutup hidung/masker. · Tahun 1450 Dominico Fontana diserahi tugas membangun Obelisk di tengah lapangan St. Pieter Roma, dan ia selalu mensyaratkan agar pekerjanya selalu memakai topi baja.
                Peristiwa-peristiwa sejarah tersebut menggambarkan bahwa masalah keselamatan dan kesehatan manusia pekerja menjadi perhatian para ahli pada zaman itu. Sejak revolusi industri di Inggris dimana banyak terjadi kecelakaan dan banyak membawa korban, para pengusaha berpendapat bahwa hal tersebut adalah bagian dan resiko dari pekerjaan dan penderitaan para korban, karena bagi para pengusaha tersebut dapat dengan mudah ditanggulangi dengan mengangkat tenaga kerja baru. Akhirnya banyak orang berpendapat bahwa membiarkan korban berjatuhan apalagi tanpa ganti rugi bagi korban dianggap tidak manusiawi. Para pekerja mendesak para pengusaha untuk mengambil langkah-langkah yang positif guna menanggulangi masalah tersebut. Yang diusahakan pertama adalah dengan memberikan perawatan pada para korban dimana motifnya berdasarkan pada kemanusiaan.
          Amerika Serikat pernah memberlakukan undang-undang Work’s Compensation Law dimana disebutkan bahwa tidak memandang apakah kecelakaan tersebut terjadi akibat kesalahan si korban atau tidak, yang bersangkutan akan tetap mendapatkan ganti rugi selama terjadi dalam pekerjaan. Undang-undang ini menandai permulaan usaha pencegahan kecelakaan yang lebih terarah. Di Inggris pada mulanya aturan perundangan yang serupa telah juga diberlakukan, namun harus dibuktikan bahwa kecelakaan tersebut bukanlah terjadi karena kesalahan si korban. Jika kesalahan atau kelalain disebabkan oleh si korban maka ganti rugi tidak akan diberikan. Karena posisi buruh/pekerja dalam posisi yang lemah, maka pembuktian salah tidaknya pekerja yang bersangkutan selalu merugikan korban. Akhirnya peraturan tersebut diubah tanpa memandang kecelakaan tersebut diakibatkan oleh si korban atau tidak. Berlakunya peraturan perundangan tersebut dianggap sebagai permulaan dari gerakan keselamatan kerja, yang membawa angin segar dalam usaha pencegahan kecelakaan industri. HW Heinrich dalam bukunya yang terkenal, “Industrial Accident Prevention”(1931), dianggap sebagai suatu titik awal yang bersejarah bagi semua gerakan keselamatan kerja yang terorganisir secara terarah. Pada hakekatnya prinsip-prinsip yang dikemukakan oleh Heinrich adalah merupakan unsur dasar bagi program keselamatan kerja yang berlaku saat ini. Peraturan tentang keselamatan dan kesehatan kerja di Indonesia sendiri sudaha lama ada yakni dimulai dengan diterbitkannya UU Uap (Stoom Ordinantiae, STBL. No. 225 Tahun 1930) yang mengatur secara khusus tentang keselamatan kerja di bidang ketel uap, Undang-Undang Petasan (STBL. No. 143 Tahun 1932), dan masih banyak lagi peraturan –peraturan yang terkait dengan keselamatan di dunia kerja. Undang-Undang Dasar 1945 pasal 27 ayat 2 secara tersirat sebenarny sudah menyinggung tentang keselamatan kerja yang berbunyi : “Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”. Bila dikaitkan dengan sumber daya manusia adalah bahwa setiap warga Negara berhak untuk mendapatkan pekerjaan yang diperlukan agar orang dapat hidup layak bagi kemanusiaan, adalah pekerjaan yang upahnya cukup dan tidak menimbulkan kecelakaan dan penyakit. Sedangkan Undang-undang yang mengatur tentang keselamatan kerja dalam segala tempat di darat, laut, maupun udara adalah dengan dikeluarkannya Undang-Undang No. 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja.

Definisi Kecelakaan dan Hazard

Accident atau kecelakaan adalah suatu keadaan atau peristiwa yang tidak diinginkan yang dapat mengakibatkan kematian, kerugian, atau dapat menurunkan kinerja perusahaan. Termasuk dalam hal ini adalah kejadian tidak aman (hampir celaka, hampir gagal). Bahaya pekerjaan adalah faktor-faktor dalam hubungan pekerjaan yang dapat mendatangkan kecelakaan. Bahaya dikatakan potensial jika belum mendatangkan kecelakaan (Suma’mur, 1987). Menurut Asfahl (1999), keselamatan (safety) berkaitan dengan efek yang akut dari hazards, sedangkan kesehatan (health) berkaitan dengan efek yang kronis dari hazards. Hazards juga melibatkan resiko atau kesempatan, yang berkaitan dengan elemen-elemen yang tidak diketahui (unknown).
Berikut merupakan kategori hazards dalam industri :
    1. Bahaya fisik : Kebisingan, radiasi, pencahayaan, suhu.
    2. Bahaya kimia : Bahan beracun dan larutan kimia.
    3. Bahaya biologi : Virus, bakteri, jamur.
    4. Bahaya mekanis : Penggunaan mesin dan peralatan.
    5. Bahaya ergonomi : Ruangan yang sempit, gerakan tubuh terbatas, mengangkat, mendorong, menarik,                                                                                                                            kurang cahaya.
    6. Bahaya psikososial : Sistem kerja, organisasi pekerjaan, lamanya jam kerja trauma.
    7. Bahaya tingkah laku : Ketidakpatuhan terhadap standar, kurang keahlian, tugas baru atau tidak rutin.
    8. Bahaya lingkungan sekitar : Gelap, permukaan tidak rata, kondisi permukaan basah, cuaca, kebakaran.
          Soemanto (1991) menyatakan bahwa faktor terbesar penyebab kecelakaan adalah faktor manusia maka usaha meningkatkan keselamatan dan kesehatan kerja perlu difokuskan pada pembinaan rasa tanggung jawab dan sikap dalam bekerja. Rasa tanggung jawab perlu dikembangkan, suatu kecelakaan dapat menimpa diri pekerja, teman sekerja, dan dengan sendirinya pihak keluarga juga menanggung akibatnya. Dapat pula kecelakaan terjadi karena ketidaktahuan atau tidak tahu kemungkinan adanya bahaya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

TEORI PERTUMBUHAN DAN PEMBANGUNAN EKONOMI

Perkembangan K3